CNN Indonesia
Ilustrasi pandangan warga Korsel atas Korut. (AFP Photo/Jung Yeon-Je)
DUNIA - Korea Utara dan Korea Selatan mempersiapkan pertemuan tingkat tinggi pertama kedua negara dalam satu dekade terakhir, Jumat (27/8), tak berharap banyak dan lebih dari warga Korsel mengharap perdamaian ketimbang reunifikasi cepat.
Meski masih sering diperdengarkan retorika unifikasi, terutama oleh pihak Korut, dalam perbaikan hubungan kali ini Presiden Korsel Moon Jae-in lebih menempatkan perdamaian dan rekonsiliasi sebagai tujuan pragmatis.
Dilansir CNN Indonesia (25/4/2018), Moon akan bertemu pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di desa perbatasan Panmunjom pada Jumat Pertemuan tingkat tinggi kedua negara terakhir kali digelar pada 2007 dan 2000 lalu.
Bagi banyak warga Korsel yang dikutip Reuters pada Rabu, ide unifikasi sudah semakin jauh dari bayangan, meski masih berada dalam gapaian. Sejarah pertumpahan darah di Perang Korea, beberapa dekade provokasi militer dan upaya Pyongyang membuat senjata nuklir meninggalkan perpecahan yang mendalam.
Belum diketahui bagaimana posisi Kim yang otokratis dan rezimnya kelak jika kedua Korea bersatu. Di tahap lain, Korsel sudah jadi ekonomi terbesar keempat Asia, membuat warga negara itu merasa unifikasi dengan Korut yang dilanda kemiskinan malah bakal merugikan.
"Korea Selatan kini setara dengan negara-negara maju setelah menanjak dari salah satu negara termiskin di dunia, berkat darah dan keringat generasi orang tua kami," kata Park Jung-ho (35), pekerja kantoran di Seoul.
"Setelah unifikasi, semuanya akan kembali ke sediakala ketika kita masih menjadi negara berkembang," kata Park.
Di sisi lain, tak mungkin untuk melihat bagaimana pandangan warga Korut yang terisolasi tentang wacana unifikasi kedua negara. Namun, surat kabar pemerintah setempat, Rodong Sinmun, melaporkan ada "keinginan kuat untuk reunifikasi" dan menyebut Kim sebagai "lelaki tak tertandingi yang memimpin sejarah dan mengatur tren dunia."
Di Seoul, Suji Lee (31) mengatakan unifikasi hanya akan membawa kekacauan ekonomi di Korsel dan menyarankan kedua negara untuk tetap berpisah.
"Keterasingan dan kerusakan," kata pekerja kantoran itu, ketika ditanya soal hal pertama yang muncul dipikiran ketika memikirkan unifikasi.
Laporan tahunan oleh Seoul National University tentang pandangan warga Korsel soal unifikasi menyebut penduduk negara itu terbelah dengan perbandingan yang kurang lebih sama. Namun, persentase pendukung keras wacana itu terus menurun sejak 2007.
Tahun lalu, 53,8 persen responden mengatakan unifikasi adalah "keharusan." Pada 2007, angka itu melebihi 63 persen.
Oleh: Er/Aal
Editor: Yakop